Imbauan itu, disampaikannya, dalam Dialog Interaktif bertajuk: Kasus Kriminalisasi Pers, Pemred Harian Berantas.co.id di RR Cafe, Marpoyan, Pekanbaru, Selasa (12/2) siang.
Dialog Interaktif, digelar bersempena Ulang Tahun ke-12 Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journalist Center (PJC).
Dialog tersebut juga menghadirkan, Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Kota Pekanbaru, Asmanidar, S.H., dan bertindak sebagai Moderator, Direktur Utama PJC, Drs. Wahyudi EL Panggabean, M.H..
Toro sendiri merupkan korban Kriminalisasi Pers oleh Bupati Bengkalis Amril Mukminin.
Toro dikriminalisasi, atas dasar pemberitaan dugaan korupsi Amril Mukminin tentang dana Bantuan Sosial (Bansos) senilai Rp272 miliar lebih.
Masalahnya, para pelaku lain dalam kasus serupa, sudah dipenjara. Sedangkan Amril, dan kawan-kawan terkesan kebal hukum.
Atas kriminalisasi Amril Mukminin itu, Toro dihukum 1 tahun penjara oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (11/2).
Sebelumnya, Jaksa menuntut Toro 1 tahun 6 bulan. Atas vonis tersebut, Toro memutuskan untuk menempuh upaya hukum (banding).
Selaku korban kriminalisasi Pers, Toro meminta segenap rekan media di Riau dan seluruh nusantara, agar tidak gentar dan tidak takut memberitakan kasus korupsi.
"Jangan takut, kita mengemban kebenaran. Kita bersama Tuhan," imbaunya di hadapan puluhan pimpinan media, wartawan dan mahasiswa.
Menurut Toro, semua prosesi penyidikan hingga persidangannya, adalah trik rekayasa penegak hukum, di mana Amril sebagai investornya.
"Saya tengah merancang laporan tentang vonis rekayasa ini. Hakimnya akan saya laporkan ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial," tegasnya.
Sebab kata Toro, semua proses hukum yang dijalaninya semata-mata untuk membungkam kemerdekaan Pers.
"Ini gertak penguasa melalui penegak hukum, agar kegiatan korupsi terus merajalela," ujarnya.
Disisi lain, Toro merasa sedih karena tindakan rekayasa kriminalisasi ini, berlanjut di persidangan dengan memelintir keterangan Saksi Ahli dan rekayasa fakta-fakta persidangan.
"Imbauan Dewan Pers agar masalah ini tidak dibawa ke ranah hukum, juga diabaikan majelis," ujar Toro.
"Namun, yang paling parah majelis tidak menghargai SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 13 Tahun 2008, kata Toro.
Dalam SEMA itu, katanya dengan tegas diminta kepada penyidik, penuntut, atau majalis hakim, mesti meminta dan mendengar keterangan Saksi Ahli Pers dari Dewan Pers.
Dalam kesempatan itu, Asmanidar, S.H., mengatakan UU ITE yang membidik Toro, pada hakekatnya hanyalah Undang-Undang yang bersifat administrasi belaka.
"Jadi, undang-undang ini kemudian dijadikan senjata oleh Penguasa melalui penegak hukum dengan legitimasi Saksi Ahli. Disini saksi ahli di rekayasa pula," katanya.
Asmanidar, menjawab pertanyaan peserta dialog mengatakan, Ketua PWI Riau, seyogianya, kesaksiannya dalam persidangan kasus ini, harus batal demi hukum.
Karena katanya, yang bersangkutan tidak memenuhi syarat dihadirkan sebagai Ahli Pers.
"Padahal, keterangannya, di pesidangan dijadikan pula pertimbangan oleh majelis hakim untuk menghukum Toro. Aneh!" tegas Asmanidar.
"Sebab, yang dikenal hanya Saksi Ahli Pers. Bukan Saksi Ahli Wartawan. Tidak ada istilah Ahli Wartawan," kata pengajar mata juliah delik Pers, di PJC itu.
"Untuk itulah, kita harus terus melawan kezholiman ini. Baik di tingkat Bmbanding, maupun melalui laporan. Terutama lewat berita," tegas Toro.
Ditegaskan Toro lagi, dengan problem kasus hukum yang tidak berkeadilan di Pengadilan Negeri Pekanbaru ini, justeru membuat kita pelaku pekerja Pers lebih giat membongkar kasus korupsi yang semakin merajalela di daerah di Provinsi Riau.
"Saya jamin, kasus dgaan korupsi di negeri junjungan Kabupaten Bengkalis yang selama ini belum seutuhnya terungkap, akan kita buka seterang mungkin, termasuk dugaan upeti pengamanan laporan kasus penjualan lahan/kawasan hutan lindung di wilayah setempat" ungkap Toro. ***(Tim)