Makassar, (23/2/2012) Maraknya aksi kekerasan atau premanisme belakangan ini yang terjadi dipusat kota-kota besar seperti dijakarta yang banyak dilansir melalui media massa baik cetak, eletronik maupun online menunjukkan betapa lemahnya pranata atau sistem hukum yang ada di Indonesia untuk menjerat dan melumpuhkan jaringan tersebut malah yang terjadi adalah pembiaran dan semakin merajalela bahkan kehadirannya pun jarang tersentuh hukum, bahkan semakin menjamur dikota-kota besar dan membentuk komunitas tersendiri baik itu berkedok sebagai perkumpulan adat atau suku, maupun agama.
Premanisme telah merajalela di Indonesia, sejak dari kota besar hingga ke dusun telah begitu rata dikuasai oleh preman yang tidak lain adalah “geng” yang rawan melakukan tindak kejahatan. Prilaku preman jalanan memang sangat meresahkan masyarakat terutama masyarakat kecil, mereka memeras para pedagang kecil, para sopir, tukang ojek di perkotaan bahkan tidak menutup kemungkinan wartawan pun bisa menjadi obyek sasaran. Merebaknya premanisme itu sejalan dengan praktik politik para politisi orde baru, serta langkah para pebisnis dalam menjalankan perdagangan mereka. Premanisme tidak berjalan sendiri, tetapi ditopang oleh sistem politik dan sistem bisnis yang berkembang.
Sebut saja jasa seorang gangster atau bodyguard yang dimanfaatkan atau disewa untuk menagih utang atau proyek pada perusahaan tertentu, sebagai kontribusinya adalah mereka mendapatkan imbalan atau uang dari pekerjaan yang dilakoninya, yang nilainya sangat menjanjikan yakni hampir setaraf dengan gaji seorang mentri.
Sampai-sampai SBY angkat bicara melalui media massa dimana dalam keterangannya “ia sangat prihatin dengan maraknya aksi kekerasan yang terjadi dan sekaligus mengecam tindakan tersebut”. Lantas bagaimana pula tanggapan seorang fisikolog melihat permasalahan tersebut.
Menurutnya hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain dengan menjadi gangster atau bodyguard yang dipekerjakan khusus untuk menagih utang dengan cara menakut-nakuti bahkan tidak jarang menghabisi korbannya.
Seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel, Tan Hari Tantono alias Ayung oleh pelakunya disinyalir bernama John Kei yang terjadi pada hari Selasa (27/1) lalu di Swiss-Belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat, dimana mereka justru suka dengan profesi tersebut karena mereka dibayar dengan imbalan yang sangat tinggi. bahkan semakin menjamur dikota-kota besar dan membentuk komunitas tersendiri baik itu berkedok sebagai perkumpulan adat atau suku, maupun agama.
Sementara dari Mabes Polri mengungkapkan lewat keterangan persnya live di SunTv bahwa ini bukan pembiaran akan tetapi ini bagian dari masalah social karena tidak memiliki pekerjaan lain, untuk itu jangan dibiarkan mereka melakoni profesi tersebut pemerintah harus menyiapkan lapangan kerja, “kita juga tidak dapat menindaki mereka karena selama itu tidak ada bukti penganiyaan atau laporan dari masyarakat. Terangnya. (red-forwi)