Berita Terkini :
SALAM REDAKSI ,  WELCOME  |   sign in   |   Gueet Book   |   Kontak Kami

Sunday, March 25, 2012

Catatan Seorang Jurnalis Dizona Merah

“ Mengenang Tragedi Berdarah di Tarakan ” 

      Tragedi 27 september 2010 yang sangat mencekam dan menegangkan di kota Tarakan Prop. Kaltim, mengingatkan saya pada peristiwa bentrokan berdarah antar suku etnis, malam itu sekitar pukul 24.00 wita di Kompleks Juata Permai terjadi sebuah insiden kecil kasus terbunuhnya salah seorang imam dari tokoh adat tidung yang bernama Abdullah (34), diawali sebuah perselisihan kawanan anak muda dari suku bugis letta ini dibawa pengaruh minuman alkohol tanpa disadari telah menganiaya dan mengeroyok salah seorang pemuda yang merupakan anak dari Abdullah dari suku tidung yang waktu itu tengah berjalan melintas didepan kawanan anak muda tersebut.

      Abdullah yang tidak terima anaknya dianiaya pada waktu itu, dia mendatangi pemuda tersebut dan menanyakan persoalan yang menimpa anaknya, dimana kondisi tubuh korban sangat mengenaskan akibat sabetan benda tajam atau sebilah parang  mengenai lengan tangannya yang hampir putus dan luka goresan diwajah, namun sayangnya tanpa berpikir panjang, bukannya pemuda itu mau bertanggung jawab malah menyerang Abdullah dengan cara menikamnya, abdullah pun tewas seketika dan pelaku memilih kabur dari TKP dan melarikan diri masuk kedalam hutan yang diduga bersembunyi  kedalam tambak.

    Keesokan harinya suasana pun mulai panas dan mencekam, mendegar kejadian tersebut, dimana suku etnis tidung berang dan marah  sepertinya genderang perang sudah mulai dihembuskan dan tidak bisa dibendung lagi, sekitar pukul 07.00 wita pagi hari massa dari suku tidung yang berduka meninggalkan kediamannya dengan membawa sebilah parang panjang dan berkumpul disuatu tempat tepatnya jalan poros juata tempat sekretariat adat tidung lengkap dengan pakaian pusaka mereka, dari sudut-sudut jalan kota tampak sudah mulai terlihat berdatangan segelintir massa menulusuri  dan menyisir  tiap-tiap ruas jalan raya dengan berjalan kaki dan ada juga yang menggunakan kendaraan beroda dua dan empat.

     Dari hasil penulusuran saya sempat terjadi ketegangan ketika saya memasuki zona merah , dimana saya berada ditengah-tengah kerumunan massa yang lagi berduka lengkap dengan sebuah parang panjang yang terhunus ditangan mereka masing-masing.

     Nampak diperbatasan jalan poros telah dijaga ketat dari aparat kepolisian dan TNI namun hal itu lantas tidak membuat urung niat mereka untuk melampiaskan kemarahannya dengan berbuat anarkis yakni dengan membakar rumah milik keluarga pelaku pembunuh.

     Mereka menuntut agar pelaku segerah diserahkan secepatnya, hanya saja pihak aparat hingga saat itu belum bisa menyerahkan pelaku dikarenakan masih dalam pengejaran dan penyedikan kepolisian. Hingga kasus ini berbuntut panjang dan meluas.

     Merasa tuntutan mereka diabaikan dinilai sengaja ditutup-tutupi , merekapun tidak segan-segan melakukan teror dan aksi sweeping dengan memobilisasi massa turun kejalan dengan membuat kekacauan atau lebih dikenal aksi chaos.

         Aksi tersebut berlangsung dari pukul 17.00 hingga situasi mencekam dari pukul 22.00 wita sampai 24.00 wita yang dimulai dari penyerangan dan pembakaran rumah-rumah milik warga suku Letta yang terletak dibilangan jalan Gajah Mada dekat pasar Guser hingga bentrokan berdarah yang tak terelakkan. Sejak itu warga mulai panik dan berhamburan kejalan serta berlarian keluar rumah karena ketakutan namun ada juga yang memilih bertahan didalam rumah masing-masing.

     Pertikaian yang terjadi antar suku tidung asli dengan suku letta sejak malam itu menelan korban sekitar puluhan meninggal dunia  dan luka-luka dari  masing-masing dua kubu yang bertikai, aparat yang disiagakan waktu itu tidak bisa berbuat banyak untuk mengantisipasi jatuhnya korban yang lebih banyak lagi, tembakan frontal keudara yang dlakukan aparat kepolisian secara bersamaan ternyata tidak mampu melarai massa yang sudah bertikai hingga situasi ini bisa dikendalikan pukul 01.00 Wita dini hari.

     Keesokan harinya giliran suku bugis letta melakukan aksi balas dendam dengan melakukan penyerangan hal yang serupa, tanpa tanggung-tanggung terhadap suku tidung, diantarannya ada yang kena tebasan parang saat sedang mengendara motor.

     Kedengarannya memang ngeri tapi itu realita sesungguhnya. Rupanya dua kubu yang bertikai tak bisa lagi menahan diri mereka pun saling mengatur siasat dan strategi untuk saling menyerang, suasana dikota tarakan semaking mencekam kabarnya akan terjadi pertumpahan darah yang lebih besar bahkan disinyalir tarakan akan bernasib sama seperti kasus sampit jilid 2, dimana aktivitas dikota itu lumpuh total seperti kota mati, warga memilih beramai-ramai mengunsikan diri dari rumah ketempat yang lebih aman seperti markas Brimob, Dandim, Balaikota, Kapolresta dan lain- lain.

     Apa sesungguhnya yang membuat masyarakat jadi ketakutan hingga memilih mengungsi ? dari keterangan yang berhasil kami lansir, bahwa situasi dikota tarakan sudah tidak kondusif serta aparat yang disiagakan tidak bisa memberikan jaminan perlindungan hukum, inilah yang membuat masyarakat phobi dan memilih mengungsi karena seruan tersebut katanya keluar dari aparat kepolisian, warga pun harus dievakuasi dengan menggunakan mobil dinas Polri dan TNI untuk mengankut mereka dari rumah ketempat pengungsian.

     Dampak yang ditimbulkan dari komplik tersebut ternyata menimbulkan multi player efek yang amat dasyat, disamping membuat lumpuh atau mati kota tersebut juga akses tranportasi terputus baik darat, laut maupun udara dimana seluruh alat vital negara diamankan petugas dari berbagai satuan unit yang dikerahkan mulai Satpol PP, Polri, TNI dan Densus 88, yang beasal dari berbagai wilayah mulai dari pusat, propinsi, dan kabupaten kota.

    Menulusuri akar permasalahan
    Awalnya hanya kasus kriminal biasa hingga meretas kekonflik suku, apa sesungguhnya yang melatarbelakangi konflik tersebut, hingga meluas dan pertikaian pun tak terelakkan hingga korban pun berjatuhan baik dipihak suku tidung maupun dari suku bugis.

     Kejadiannya pun sangat tragis dan mencekam. Sangat beragam dan komplikasi permasalahan yang muncul mulai dari masalah hukum, ekonomi, pendidikan hingga permasalahan sosial. Dahulu diketahui jika suku pertama yang bermukim di Tarakan yakni suku dayak dan suku tidung, dimana suku tersebut memiliki hubungan emosional yang sangat tinggi, hingga pembagian wilayah terirtorial pun dibagi menjadi dua yakni suku dayak meliputi wilayah daratan atau pengunungan yang dikuasai sedangkan suku tidung meliputi wilayah pesisir atau laut yang dikuasai.

     Walaupun kedua suku tersebut memiliki suatu keyakinan atau kepercayaan yang berbeda, dimana mayoritas suku tidung memeluk agama islam sedangkan suku dayak sendiri masih bersifat animisme. Dan keduanya masing-masing memiliki tokoh atau pemimpin heroik yang sangat disegani kaumnya dan dikenal masyarakat luas, lalu siapa mereka ? dari suku dayak sendiri orang kenal dengan sebutan Panglima Burung,

      Sedangkan dari suku tidung dikenal dengan pemimpinnya dengan sebutan Panglima Kumbang. Hanya saja dalam tragedi tarakan berdarah ini tidak melibatkan suku dayak didalamnya. Hingga kasus ini telah berakhir dengan nota kesepakatan perdamaian terhadap kedua suku yang bertikai, dengan melibatkan seluruh tokoh adat, agama, ormas, dan seluruh stakeholder serta aparatur pemerintahan yang ikut mengamankan kota tarakan yakni unsur Polri dan TNI.

     Dengan pengamanan estra ketat yakni siaga satu, dimana aktivitas penerbangan udara maupun laut dihentikan sementara waktu hingga situasi dinyatakan benar-benar aman dan terkendali, sehingga warga pun yang mengungsi mulai berangsur-angsur dipulangkan kerumahnya masing-masing.

     Lemahnya hukum yang dinilai tebang pilih oleh sebagian masyarakat diduga menjadi salah satu faktor lemahnya kredibilitas kinerja aparatur penegak hukum dalam menindaki para pelaku kriminal. Belum lagi dipicu oleh faktor kesenjangan sosial antara suku pendatang dan etnis setempat, yang mana secara ekonomi diwilayah tersebut didominasi oleh suku pendatang yang telah lama berinvestasi.

     Sehingga pertumbuhan ekonomi dan perkembangan properti dikota tersebut tidak terlepas dari kontribusi dari luar etnis. Sebab etnis tersebut dinilai identik dengan ketertinggalan dan kurangnya mengenyam pendidikan. Sehingga menyebabkan etnis ini semaking termarginalkan dalam dunia usaha yang semaking  kompetitif ini.

     Sebagai contoh dalam berdagang mereka masih menggunakan pola atau cara barter tanpa memperhatikan untung-ruginya karna SDM mereka yang sangat terbatas secara turung-temurung.

     Walaupun demikian, masih ada juga segelintir orang yang mungkin memanfaatkan kelemahan mereka, bukan malah mengankat derajat dan harkat mereka dengan segalah keterbatasannya. Sikap toleransi dan sportifitas inilah yang mulai meredup dan semaking mengalami pergeseran nilai dari waktu-kewaktu.

     Indikasi lain menunjukkan tidak terbendungnya arus penduduk musiman yang tidak memiliki pekerjaan yang menetap dikota ini. Dan tidak memiliki pekerjaan atau pilihan lain sebagai bodyguard, premanisme bahkan menjadi perompak. Lantas bagaimana peranan pemerintah dalam menyikapi permasalahan tersebut, bukankah ini sudah menjadi permasalahan serius yang dialami bangsa saat ini ?. (red-ketum/forwi)



No comments :

Post a Comment

Arsip Berita

 

Copyright Forum Wartawan Indonesia / Email: forwisulsel@yahoo.com