Berita Terkini :
SALAM REDAKSI ,  WELCOME  |   sign in   |   Gueet Book   |   Kontak Kami

Sunday, February 17, 2013

Sekolah Bertaraf Internasional Bubar!


RSBI dan SBI selama ini merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah.
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
MK menilai telah terjadi diskriminasi antara si kaya dan si miskin saat penerapan sistem SBI dan RSBI dalam sistem pendidikan di Indonesia. “SBI dan RSBI adalah bentuk diskriminasi pemerintah terhadap siswa” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusannya, Selasa (8/1) di Jakarta.
Anwar mengatakan, jika negara hendak memajukan kualitas sekolah yang dibiayai negara maka negara harus memperlakukan sama dengan meningkatkan sarana, prasarana serta pembiayaan bagi semua sekolah yang dimiliki pemerintah.
Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Mahkamah juga menyebutkan bahwa program RSBI/SBI lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga kaya. Beasiswa hanya disediakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak banyak. "Sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.
Respon dari penghapusan RSBI dan SBI ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Salah satu orang tua siswa di SDN 11 Kebon Jeruk, Yosi merasa kecewa dengan dihapuskannya sistem belajar RSBI tersebut. Menurutnya, program yang diterapkan pada sistem sekolah RSBI sudah bagus dan cukup bagus."Programnya kan sudah bagus, kita sih kecewa. Kalau balik lagi seperti zaman dulu, pelajaran bahasa Inggrisnya kan dapat di SMP," ucapnya.
Sedangkan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan sangat bersyukur atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan semua pengajuan judicial review terhadap status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).“Kami berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghormati hukum dan putusan MK itu. Mendikbud harus memberikan contoh kepada kami semua di dunia pendidikan untuk patuh terhadap hukum,” ujar Retno.
Komersialisasi Pendidikan
Dihubungi diwaktu yang berbeda, Ketua Lajnah Dakwah Sekolah Dede Tisna, menyetujui keputusan MK membubarkan Sekolah bertaraf Internasional tersebut. Sebab, menurutnya, keberadaan RSBI dan SBI selama ini merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah. “Keberadaan sekolah RSBI ataupun SBI bukanlah merupakan kehendak masyarakat,” ujarnya kepada Media Umat.
Ia mengatakan, masyarakat sangatlah mendambakan adanya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia agar dapat bersaing ditingkat global. “Tapi, bukan dengan mewujudkan sekolah yang mahal,” tuturnya.
“Masyarakat menginginkan sekolah yang bermutu tinggi dengan biaya yang murah atau bahkan gratis. Faktanya, sekolah-sekolah yang berlabel RSBI pasti identik dengan sekolah dengan biaya mahal, sehingga syarat utama untuk memasuki sekolah tersebut bukan  lagi kemampuan berpikir tetapi lebih mengutamakan kemampuan finansial,” imbuhnya.
Ia mengungkapkan salah satu sekolah di Jakarta untuk biaya masuk (uang pangkal) di sekolah  RSBI  yang paling murah berada pada angka 7,5 juta, sementara  di sekolah yang lainnya ada yang mencapai angka 12,5 juta bahkan ada yang sampai 15 juta. Sementara untuk biaya SPP (bulanan), pada angka 500 ribu. “Bahkan sekolah yang berada di kawasan Blok M yang belum lama ini menjadi perbincangan masyarakat luas karena kasus tawuran-nya, mematok biaya SPP hingga angka 1 juta,” ungkapnya.
Menurut Dede, inilah buah dari liberalisasi pendidikan. Penyebabnya adalah karena adanya tekanan dan paksaan dari negara-negara maju dengan mengikat Indonesia dalam WTO dan General agreement on trade in services (GATS) d imana bidang pendidikan sebagai salah satu sektor yang terkait dalam GATS tersebut, sebagai dampak  penerapan neoliberalisme dengan atas nama globalisasi.
Hasil tekanan internasional inilah, menurut Dede, membuat pemerintah mengeluarkan regulasi yang membenarkan masuknya investor-investor asing ke Indonesia dalam dunia pendidikan. “Pemerintah telah menyediakan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas di mana pada salah satu pasalnya mengatur bahwa lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP),” jelasnya.
Hasilnya? Lembaga pendidikan (sekolah) mirip perusahaan. Ada pemilik modal, pengelola, pekerja dan konsumen. Konsekuensinya, pengelolaan dan pendanaan sekolah dilakukan sendiri oleh sekolah, dalam hal ini dana bersumber dari para orang tua siswa.
“Sedangkan, pemerintah tidak memikul tanggung jawab apapun kecuali memberikan hibah saja. Sehingga wajar jika kemudian sekolah-sekolah yang berlabel RSBI/SBI ini hanya berisikan siswa-siswa dari kalangan  the have. Mengapa? Ya karena berbiaya mahal,” ujarnya.
Dede menambahkan, solusi pemerintah setelah dibatalkannya RSBI dan SBI akan mencanangkan sekolah mandiri, dinilai sama saja dan tidak mengubah subtansi apapun terhadap perbaikan sistem pendidikan. “Sekolah kategori mandiri digadang-gadang sebagai sekolah bergengsi, karena diindikasikan dengan kinerjanya yang di atas standar nasional,” jelasnya
Padahal, posisinya tidak berbeda dengan sekolah yang berlabel RSBI. Ketika tuntutan kualitas jauh di atas rata-rata sekolah lainnya, sementara anggaran pendidikan dari pemerintah masih tetap, akhirnya biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah kategori mandiri tetap akan dibebankan kepada orang tua siswa. “Akhirnya sama saja tetap hanya sisiwa-siswi  yang orang tuanya mampu sajalah yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah kategori mandiri tersebut,” ungkapnya.
Hal yang sama ditegaskan juru bicara MK Akil Mochtar. Ia mengatakan meskipun RSBI berganti nama menjadi Sekolah Kategori Mandiri (SKM), hal tersebut tetaplah ilegal dan melanggar UU. “Tetap ilegal kalau dengan metode dan cara yang sama. Ini harus diperhatikan, sama seperti kita memutus Badan Hukum Pendidikan (BHP) waktu lalu,” pungkasnya.[] fatih mujahid
BOKS
RSBI, Sekolah Bertarif Internasional
Untuk bersekolah di sekolah bertaraf internasional dengan kualitas pendidikan nomor  satu, orang tua murid harus merogoh kocek dalam-dalam. Standar memperoleh pendidikan yang baik pun sangat mahal hingga si miskin pun tidak punya hak bersekolah di sini.
Nadia Masykuriah, orang tua murid, mengeluhkan besarnya pungutan yang harus dikeluarkan kepada pihak sekolah. Nadia harus membayar uang masuk sekolah sekitar Rp 9 juta dengan uang bulanan Rp 600 ribu.
"Waktu daftar saya tidak tahu akan semahal itu. Saya tanya ke pihak sekolah tentang biayanya, mereka malah bilang cari tahu di luar saja. Di sekolah swasta saja diberi rincian sebelum mendaftar," tuturnya.

Nadia menceritakan bahwa pihak sekolah pernah menahan rapor  anaknya saat terlambat membayar iuran bulanan. Bahkan sekolah pernah mengancam saat dia bersama orang tua murid lainnya menyatakan ketidaksetujuan atas bayaran bulanan yang terlalu tinggi.

"Baru-baru ini saya bersama beberapa orang tua murid lainnya menyampaikan ketidaksetujuan kami atas biaya sekolah yang mahal. Untuk yang tidak setuju, sekolah mengancam akan mem-blacklist anak-anak kami agar tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah negeri," imbuh Nadia.
Sementara, Bambang, orang tua murid di salah satu SMA Negeri di Jakarta Timur menuturkan untuk biaya sekolah anaknya selama satu tahun ajaran, besarnya bisa mencapai Rp 24 juta. “Untuk masuk di kelas Internasional dan biaya buku saja biayanya sekitar 300 ribu hingga 500 ribu rupiah,” ungkapnya
Walau sekolah RSBI bubar, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  mengatakan biaya pendidikan di sekolah tersebut tidak akan berubah sampai akhir tahun. “Biayanya juga tetap sama. Yang tadinya Rp 100.000 ya tetap, Rp 1 juta, ya tetap,” pungkas Mendikbud M Nuh.[] fm dari berbagai sumber

No comments :

Post a Comment

Arsip Berita

 

Copyright Forum Wartawan Indonesia / Email: forwisulsel@yahoo.com