Berita Terkini :
SALAM REDAKSI ,  WELCOME  |   sign in   |   Gueet Book   |   Kontak Kami

Sunday, February 17, 2013

Mahkamah Konstitusi Terlibat Jual Negara


Ichsanuddin Noorsy  (Pengamat Kebijakan Publik)

“Jual negara kepada asing penjajah,” sepertinya kalimat itulah yang belum terdengar keluar dari mulut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terkait jual beli pasal di DPR. Padahal, menurut Ichsanuddin Noorsy, esensi dari jual beli pasal adalah menyerahkan kedaulatan negeri ini kepada asing. Noorsy pun menuding bahwa MK turut terlibat dalam menjual negara ini! Kok bisa? Temukan jawabannya dalam petikan wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan pengamat kebijakan publik tersebut. Berikut petikannya.

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan bahwa di DPR terjadi jual beli pasal. Bagaimana tangggapan Anda?


     Rasanya itu sudah terjadi sejak April 1966, ketika pemerintah RI menerima gagas UU penanaman modal dari kepentingan pengusaha Freeport, bernama Forbes Wilson. Jadi jual beli pasal itu bukan hal baru, itu hal lama. Di sana dimuatlah kepentingan-kepentingan asing, yang dituangkan dalam UU Penanaman Modal Asing.

   Itu disyaratkan oleh para investor asing agar  Indonesia demikian ramah dengan para investor asing. Itu sudah menjual, bukan hanya menjual pasal, itu menjual negeri, kan konten dari menjual pasal adalah menjual negeri ini. Jadi bukan hanya sekarang,  Yang kayak gitu,  sudah terjadi di awal era Soeharto. Dari UU Nomor 1 Tahun 1967 yang saya ceritakan, berlanjut ke UU No 8 Tahun 1967 tentang pertambangan, untuk pengamanan kepentingan investor asing, di bidang pertambangan, kalau tadi di bidang emas.


   Yang kedua UU No 11 Tahun 1967, itu tentang pertambangan minyak, dan seterusnya. Tetapi Soeharto tidak serta merta menataliberalkan. Soeharto masih setengah hati untuk meliberalkan perekonomian. Soeharto baru kemudian menerima lagi, atau lebih tepatnya pasal-pasal yang dijualbelikan itu, baru diterima lagi pada periode tahun 1982-an, dengan nama deregulasi dan debirokratisasi. Sebagai aplikasi dari  konsensus Washington, itu juga jual pasal!


    Itu dilakukan oleh eksekutif dengan menerbitkan kebijakan 4 November, lalu kebijakan Oktober, dan seterusnya sampai akhirnya negeri ini liberal.


Kalau di era Reformasi?


   Sama saja.  Itu terjadi dari mulai UU Pemerintah Daerah, UU Persaingan Usaha, UU Perbankan,  UU No 10 Tahun 1998 itu. Lalu UU Lalu Lintas Devisa Sistem Pembayaran, UU Pemerintah Daerah (lagi, red), UU Perimbangan Pusat Daerah, termasuk terakhir UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Energi No 30 Tahun 2007, UU 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan, UU Migas, UU Minerba. Itu semua jual pasal, jual negeri! Dan itu tidak hanya dilakukan oleh DPR. Jadi kalau tudingannya hanya dilakukan oleh DPR, salah. Yang menjual pertama kali eksekutif.


Jadi eksekutif dapat dana dari asing, terus diserahkan ke DPR, DPR dapat uang lagi, disetujui DPR, begitu?


   Iya betul, eksekutif menerima, bukan mendapat uang dari asing, eksekutif menerima pinjaman dari asing, lalu asing mengatur supaya Indonesia bikin UU seperti ini. Jadi kita membayar dengan utang, karena kita mempekerjakan mereka dengan utangnya. Namanya pinjaman program.


Contohnya?


   Kemarin pemerintah RI di bawah Presiden SBY juga mencairkan 400 juta dolar Amerika untuk development policy law VIII dan di dalamnya ada persoalan PNPM dan dana KUR, macam-macam. Menerima pinjaman luar negeri, dengan pinjaman program, mereka ngatur lewat pembentukan draft UU, macam-macam, dibawa ke DPR, DPR juga terima lalu balik lagi ke eksekutif, jadi Undang-Undang.


   Jadi tudingan Mahfud, tudingan salah arah itu. Saya khawatir MK juga ikut dalam konstruksi itu, walaupun mereka tidak menerima apa-apa. Karena kebijakan MK misalnya membenarkan asuransi asing, yang menolak gugatan-gugatan yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai konstitusi.


Contohnya dalam UU apa MK bisa dikatakan terlibat dalam menjual negara?


  Contoh sederhana ketika kami menggugat UU No 22 Tahun 2001 tentang Kelistrikan yang dibatalkan oleh MK, tetapi dalam UU No 30 Th 2009 MK membenarkan tentang Kelistrikan (padahal esensi dari kedua UU tersebut sama, hanya diubah redaksi katanya saja, red).


   Contoh  lainnya, ketika kami menggugat UU Penanaman Modal yang sudah jelas-jelas menjajah Indonesia, MK menolaknya tuh. Begitu juga ketika kami menggugat UU tentang Piagam ASEAN yang sesungguhnya melepas Indonesia ke dalam mekanisme pasar bebas secara total untuk kepentingan ASEAN dan Amerika, sebenarnya untuk Amerika, MK menolaknya tuh.


   Jadi, walaupun MK kelihatan tidak menjual tetapi dengan  sikap pembenarannya terhadap UU yang menjual negara, akhirnya MK pun ikut menjual.


Pihak-pihak yang terlibat dalam jualan pasal dan UU ini sebenarnya menyadari atau tidak, bahwa sesungguhnya mereka telah menjual negara?


   Jadi klasifikasinya ada tiga. Pertama, ada yang tidak mengerti tapi demikian menjunjung free market mechanism atau pasar bebas yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan itu. Kedua, memang menjadi pejuang penuh free market mechanism, istilah saya sebagai true believer free market mechanism atau pakai istilah Stiglitz, free market foundamentalism, fundamentalis-fundamentalis mekanisme pasar bebas. Mereka ini meyakini penuh atas kebenaran free market mechanism yang dalam periode 2008-2011 jelas-jelas kalah dalam peperangan perekenomian. Ketiga, yang tidak mengerti, tidak mau belajar, tidak mau membuka otaknya, yang tidak mengerti posisinya.


Nah, yang paling berbahaya itu yang mana dari ketiga kelompok itu?


    Saya membaginya ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, saya sebut sebagai symbolic torture, atau kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini rata-rata mereka menjadi fundamentalis, yang dalam istilah saya, mereka menjadi true believer.


    Mereka belajar di Amerika, mereka belajar di fakultas-fakultas, di perguruan tinggi-perguruan tinggi Indonesia, mereka tidak dapat pembelajaran alternatif lain. Mereka dididik meyakini yang namanya di luar free market mechanism adalah sebuah kegagalan, adalah sebuah kekonyolan. Lalu mereka menjadi fundamentalis, mereka menjadi pejuang habis-habisan free market mechanism dan mereka menyebut orang-orang yang mencoba menegakan ekonomi konstitusi seperti saya sebagai nationalism bad, sebagai  the looser, sebagai pecundang. Mereka sebagai pengkhianat, pengkhianat terhadap konstitusi.


   Kedua, saya sebut sebagai Stockholm syndrome. Nah, sindrom Stockholm itu orang-orang yang menikmati hidup dari hasil penjajahan.  Padahal yang diberikan kepada mereka, sebagai sebuah penghasilan kehidupan, sebagai kemewahan atau keagungan, itu sebenarnya sedikit sekali. Yang dirampok penjajah itu bergalon-galon, tetapi yang diberikan ke mereka cuma tetesan, yang tetesan itu mereka bangga-banggakan sebagai betapa baiknya penjajah kepada mereka.


    Ketiga? Misleading symplication. Ini aliran pragmatis, ini aliran mau serba gampang, serba instan yang tidak mau belajar, selalu ingin menyederhanakan masalah, tetapi sebenarnya menyesatkan. Misalnya, mereka membahas tentang kopi instan, roti instan, roti isi daging sapi instan. Tetapi mereka tidak pernah mau tahu bagaimana proses pembuatan kopinya, rotinya, daging sapinya. Mereka tidak mau tahu standar-standar yang dibangunnya yang penting mereka bisa menikmati.


   Lalu mereka bilang, “ini tidak masalah,”  Padahal di Barat sana itu, makanan yang mereka banggakan itu terkategori junk food atau makanan sampah. Mereka bilang, ini sebagai sebuah kenikmatan, ini sebagai sebuah ukuran kemodernan. Ukuran kemodernan lainnya yang mereka banggakan padahal penyesatan adalah banyak perempuan yang menunjukkan paha, perut dan dadanya sebagai indikator. Mereka bilang ini adalah seni. Padahal itu pembodohan!


    Lalu mereka juga membenarkan free market mechanism itu sebagai sebuah kedigdayaan dan ternyata benar gitu loh posisinya. Jadi mereka tidak pernah tahu  bahwa orang-orang Barat sendiri sudah memaki habis-habisan free market mechanism itu.


Jadi kelompok mana yang paling bahaya?


    Saya kira yang paling berbahaya yang pertama tadi, yang saya sebut sebagai kekerasan simbolik, karena rata-rata mereka adalah elite dan yang keduanya adalah mereka para aparat, termasuk para birokrat, yang berada pada posisi sindrom Stockholm. Terakhir, masyarakat kebanyakan sebagai orang-orang yang mengidap penyakit pragmatis, mereka menyederhanakan  masalah tetapi menyesatkan posisinya

No comments :

Post a Comment

Arsip Berita

 

Copyright Forum Wartawan Indonesia / Email: forwisulsel@yahoo.com