Berita Terkini :
SALAM REDAKSI ,  WELCOME  |   sign in   |   Gueet Book   |   Kontak Kami



Harap tunggu :D
Sponsored By :FORWI.

Healine News

DeaMedia SKU Forum Wartawan Indonesia

Headline News Caver Depan
forwinews.blogspot.com




Email

forwisulsel@yahoo.com

Visitor

Berita Dari Sulsel

Berita Dari Sultra

Berita Dari Sulbar

Kawasan Link Media

Sunday, February 17, 2013

Abraham: Jangankan Teman, Saudara Pun Saya Cincang Kalau Korupsi!


      JAKARTA, MP -- Penetapan tersangka mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaq (LHI) sebagai tersangka kasus suap kuota impor daging sapi, menuai spekulasi terkait tidak munculnya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad harus cepat berakhir. 

   Abraham Samad yang dihubungi pers memberikan jawaban seputar penetapan, penangkapan, penahanan LHI hingga ada tidaknya 'pengaruh' PKS dalam proses itu. 

 Dia membantah terkait banyak oknum yang menyebutkan dirinya dulu adalah kader PKS, sebelum jadi Ketua KPK sehingga implikasinya, saat penetapan LHI jadi tersangka suap daging ada dugaan Abraham tidak setuju."Itu isyu menyesatkan. Karena saya justru menandatangani surat penangkapan dan penahanan malam itu (Rabu 30/1/13)," kata Abraham sembari tersenyum kepada pers di Jakarta, Sabtu (2/2/13) malam. 

 Saat ditanyakan, apa alasan dirinya tidak muncul saat pengumuman LHI, sebagai tersangka atau pasca penahannya hingga saat ini, Abraham menegaskan, di situlah dibutuhkan kecerdasan untuk mencerna."Saya ada di kantor. Biasa kan pengumuman tidak semua tersangka, saya umumkan. Sebagai Contoh Emir Moeis bukan saya yang umumkan," paparnya. 

 Dia menyatakan, dirinya bahkan menyetujui penetapan LHI sebagai tersangka. Ketika dikonfirmasi apakah ada tekanan dari pihak-pihak tertentu terkait penetapan tersangka LHI, Abraham menegaskan, tak ada tekanan dari individu ataupun institusi. "Sama sekali tidak ada, KPK bekerja Profesional," paparnya. 

  Sementara itu, dia menjelaskan, pasca penetapan LHI jadi tersangka tidak ada tekanan atau teguran apapun dari oknum bahkan misalnya dari Tamsil Linrung atau Anis Matta.

  "Saya tidak ada urusan dengan nama-nama itu. Jangankan teman, saudara saya pun saya cincang kalau korupsi," bebernya. 

  Dia menuturkan, jika ada pertanyaan apakah dirinya kenal dengan Tamsil dan Anis Matta, maka pastilah dirinya mengetahui mereka sebagai anggota DPR asal Sulsel. "Tapi tidak mengenal secara dekat. Saya sudah bilang saudara saja saya gantung kalau korupsi. Jadi jangan bikin gosib murahan," tandasnya. A.Samad

Sekolah Bertaraf Internasional Bubar!


RSBI dan SBI selama ini merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah.
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).
MK menilai telah terjadi diskriminasi antara si kaya dan si miskin saat penerapan sistem SBI dan RSBI dalam sistem pendidikan di Indonesia. “SBI dan RSBI adalah bentuk diskriminasi pemerintah terhadap siswa” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan putusannya, Selasa (8/1) di Jakarta.
Anwar mengatakan, jika negara hendak memajukan kualitas sekolah yang dibiayai negara maka negara harus memperlakukan sama dengan meningkatkan sarana, prasarana serta pembiayaan bagi semua sekolah yang dimiliki pemerintah.
Pasal 50 ayat (3) Undang-Undang Sistem Pendidikan berbunyi: "Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Mahkamah juga menyebutkan bahwa program RSBI/SBI lebih banyak dimanfaatkan oleh siswa dari keluarga kaya. Beasiswa hanya disediakan untuk menampung anak-anak sangat cerdas yang jumlahnya tidak banyak. "Sehingga anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi, yang kurang cerdas karena latar belakang lingkungannya yang sangat terbatas, tidak mungkin bersekolah di SBI/RSBI," kata Anwar.
Respon dari penghapusan RSBI dan SBI ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Salah satu orang tua siswa di SDN 11 Kebon Jeruk, Yosi merasa kecewa dengan dihapuskannya sistem belajar RSBI tersebut. Menurutnya, program yang diterapkan pada sistem sekolah RSBI sudah bagus dan cukup bagus."Programnya kan sudah bagus, kita sih kecewa. Kalau balik lagi seperti zaman dulu, pelajaran bahasa Inggrisnya kan dapat di SMP," ucapnya.
Sedangkan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti menyatakan sangat bersyukur atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan semua pengajuan judicial review terhadap status Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI).“Kami berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghormati hukum dan putusan MK itu. Mendikbud harus memberikan contoh kepada kami semua di dunia pendidikan untuk patuh terhadap hukum,” ujar Retno.
Komersialisasi Pendidikan
Dihubungi diwaktu yang berbeda, Ketua Lajnah Dakwah Sekolah Dede Tisna, menyetujui keputusan MK membubarkan Sekolah bertaraf Internasional tersebut. Sebab, menurutnya, keberadaan RSBI dan SBI selama ini merupakan bentuk komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah. “Keberadaan sekolah RSBI ataupun SBI bukanlah merupakan kehendak masyarakat,” ujarnya kepada Media Umat.
Ia mengatakan, masyarakat sangatlah mendambakan adanya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia agar dapat bersaing ditingkat global. “Tapi, bukan dengan mewujudkan sekolah yang mahal,” tuturnya.
“Masyarakat menginginkan sekolah yang bermutu tinggi dengan biaya yang murah atau bahkan gratis. Faktanya, sekolah-sekolah yang berlabel RSBI pasti identik dengan sekolah dengan biaya mahal, sehingga syarat utama untuk memasuki sekolah tersebut bukan  lagi kemampuan berpikir tetapi lebih mengutamakan kemampuan finansial,” imbuhnya.
Ia mengungkapkan salah satu sekolah di Jakarta untuk biaya masuk (uang pangkal) di sekolah  RSBI  yang paling murah berada pada angka 7,5 juta, sementara  di sekolah yang lainnya ada yang mencapai angka 12,5 juta bahkan ada yang sampai 15 juta. Sementara untuk biaya SPP (bulanan), pada angka 500 ribu. “Bahkan sekolah yang berada di kawasan Blok M yang belum lama ini menjadi perbincangan masyarakat luas karena kasus tawuran-nya, mematok biaya SPP hingga angka 1 juta,” ungkapnya.
Menurut Dede, inilah buah dari liberalisasi pendidikan. Penyebabnya adalah karena adanya tekanan dan paksaan dari negara-negara maju dengan mengikat Indonesia dalam WTO dan General agreement on trade in services (GATS) d imana bidang pendidikan sebagai salah satu sektor yang terkait dalam GATS tersebut, sebagai dampak  penerapan neoliberalisme dengan atas nama globalisasi.
Hasil tekanan internasional inilah, menurut Dede, membuat pemerintah mengeluarkan regulasi yang membenarkan masuknya investor-investor asing ke Indonesia dalam dunia pendidikan. “Pemerintah telah menyediakan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas di mana pada salah satu pasalnya mengatur bahwa lembaga pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah dan masyarakat harus berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP),” jelasnya.
Hasilnya? Lembaga pendidikan (sekolah) mirip perusahaan. Ada pemilik modal, pengelola, pekerja dan konsumen. Konsekuensinya, pengelolaan dan pendanaan sekolah dilakukan sendiri oleh sekolah, dalam hal ini dana bersumber dari para orang tua siswa.
“Sedangkan, pemerintah tidak memikul tanggung jawab apapun kecuali memberikan hibah saja. Sehingga wajar jika kemudian sekolah-sekolah yang berlabel RSBI/SBI ini hanya berisikan siswa-siswa dari kalangan  the have. Mengapa? Ya karena berbiaya mahal,” ujarnya.
Dede menambahkan, solusi pemerintah setelah dibatalkannya RSBI dan SBI akan mencanangkan sekolah mandiri, dinilai sama saja dan tidak mengubah subtansi apapun terhadap perbaikan sistem pendidikan. “Sekolah kategori mandiri digadang-gadang sebagai sekolah bergengsi, karena diindikasikan dengan kinerjanya yang di atas standar nasional,” jelasnya
Padahal, posisinya tidak berbeda dengan sekolah yang berlabel RSBI. Ketika tuntutan kualitas jauh di atas rata-rata sekolah lainnya, sementara anggaran pendidikan dari pemerintah masih tetap, akhirnya biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah kategori mandiri tetap akan dibebankan kepada orang tua siswa. “Akhirnya sama saja tetap hanya sisiwa-siswi  yang orang tuanya mampu sajalah yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah kategori mandiri tersebut,” ungkapnya.
Hal yang sama ditegaskan juru bicara MK Akil Mochtar. Ia mengatakan meskipun RSBI berganti nama menjadi Sekolah Kategori Mandiri (SKM), hal tersebut tetaplah ilegal dan melanggar UU. “Tetap ilegal kalau dengan metode dan cara yang sama. Ini harus diperhatikan, sama seperti kita memutus Badan Hukum Pendidikan (BHP) waktu lalu,” pungkasnya.[] fatih mujahid
BOKS
RSBI, Sekolah Bertarif Internasional
Untuk bersekolah di sekolah bertaraf internasional dengan kualitas pendidikan nomor  satu, orang tua murid harus merogoh kocek dalam-dalam. Standar memperoleh pendidikan yang baik pun sangat mahal hingga si miskin pun tidak punya hak bersekolah di sini.
Nadia Masykuriah, orang tua murid, mengeluhkan besarnya pungutan yang harus dikeluarkan kepada pihak sekolah. Nadia harus membayar uang masuk sekolah sekitar Rp 9 juta dengan uang bulanan Rp 600 ribu.
"Waktu daftar saya tidak tahu akan semahal itu. Saya tanya ke pihak sekolah tentang biayanya, mereka malah bilang cari tahu di luar saja. Di sekolah swasta saja diberi rincian sebelum mendaftar," tuturnya.

Nadia menceritakan bahwa pihak sekolah pernah menahan rapor  anaknya saat terlambat membayar iuran bulanan. Bahkan sekolah pernah mengancam saat dia bersama orang tua murid lainnya menyatakan ketidaksetujuan atas bayaran bulanan yang terlalu tinggi.

"Baru-baru ini saya bersama beberapa orang tua murid lainnya menyampaikan ketidaksetujuan kami atas biaya sekolah yang mahal. Untuk yang tidak setuju, sekolah mengancam akan mem-blacklist anak-anak kami agar tidak bisa melanjutkan pendidikan di sekolah negeri," imbuh Nadia.
Sementara, Bambang, orang tua murid di salah satu SMA Negeri di Jakarta Timur menuturkan untuk biaya sekolah anaknya selama satu tahun ajaran, besarnya bisa mencapai Rp 24 juta. “Untuk masuk di kelas Internasional dan biaya buku saja biayanya sekitar 300 ribu hingga 500 ribu rupiah,” ungkapnya
Walau sekolah RSBI bubar, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan  mengatakan biaya pendidikan di sekolah tersebut tidak akan berubah sampai akhir tahun. “Biayanya juga tetap sama. Yang tadinya Rp 100.000 ya tetap, Rp 1 juta, ya tetap,” pungkas Mendikbud M Nuh.[] fm dari berbagai sumber

Mahkamah Konstitusi Terlibat Jual Negara


Ichsanuddin Noorsy  (Pengamat Kebijakan Publik)

“Jual negara kepada asing penjajah,” sepertinya kalimat itulah yang belum terdengar keluar dari mulut Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD terkait jual beli pasal di DPR. Padahal, menurut Ichsanuddin Noorsy, esensi dari jual beli pasal adalah menyerahkan kedaulatan negeri ini kepada asing. Noorsy pun menuding bahwa MK turut terlibat dalam menjual negara ini! Kok bisa? Temukan jawabannya dalam petikan wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan pengamat kebijakan publik tersebut. Berikut petikannya.

Beberapa waktu lalu, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan bahwa di DPR terjadi jual beli pasal. Bagaimana tangggapan Anda?


     Rasanya itu sudah terjadi sejak April 1966, ketika pemerintah RI menerima gagas UU penanaman modal dari kepentingan pengusaha Freeport, bernama Forbes Wilson. Jadi jual beli pasal itu bukan hal baru, itu hal lama. Di sana dimuatlah kepentingan-kepentingan asing, yang dituangkan dalam UU Penanaman Modal Asing.

   Itu disyaratkan oleh para investor asing agar  Indonesia demikian ramah dengan para investor asing. Itu sudah menjual, bukan hanya menjual pasal, itu menjual negeri, kan konten dari menjual pasal adalah menjual negeri ini. Jadi bukan hanya sekarang,  Yang kayak gitu,  sudah terjadi di awal era Soeharto. Dari UU Nomor 1 Tahun 1967 yang saya ceritakan, berlanjut ke UU No 8 Tahun 1967 tentang pertambangan, untuk pengamanan kepentingan investor asing, di bidang pertambangan, kalau tadi di bidang emas.


   Yang kedua UU No 11 Tahun 1967, itu tentang pertambangan minyak, dan seterusnya. Tetapi Soeharto tidak serta merta menataliberalkan. Soeharto masih setengah hati untuk meliberalkan perekonomian. Soeharto baru kemudian menerima lagi, atau lebih tepatnya pasal-pasal yang dijualbelikan itu, baru diterima lagi pada periode tahun 1982-an, dengan nama deregulasi dan debirokratisasi. Sebagai aplikasi dari  konsensus Washington, itu juga jual pasal!


    Itu dilakukan oleh eksekutif dengan menerbitkan kebijakan 4 November, lalu kebijakan Oktober, dan seterusnya sampai akhirnya negeri ini liberal.


Kalau di era Reformasi?


   Sama saja.  Itu terjadi dari mulai UU Pemerintah Daerah, UU Persaingan Usaha, UU Perbankan,  UU No 10 Tahun 1998 itu. Lalu UU Lalu Lintas Devisa Sistem Pembayaran, UU Pemerintah Daerah (lagi, red), UU Perimbangan Pusat Daerah, termasuk terakhir UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, UU Energi No 30 Tahun 2007, UU 30 Tahun 2009 tentang Kelistrikan, UU Migas, UU Minerba. Itu semua jual pasal, jual negeri! Dan itu tidak hanya dilakukan oleh DPR. Jadi kalau tudingannya hanya dilakukan oleh DPR, salah. Yang menjual pertama kali eksekutif.


Jadi eksekutif dapat dana dari asing, terus diserahkan ke DPR, DPR dapat uang lagi, disetujui DPR, begitu?


   Iya betul, eksekutif menerima, bukan mendapat uang dari asing, eksekutif menerima pinjaman dari asing, lalu asing mengatur supaya Indonesia bikin UU seperti ini. Jadi kita membayar dengan utang, karena kita mempekerjakan mereka dengan utangnya. Namanya pinjaman program.


Contohnya?


   Kemarin pemerintah RI di bawah Presiden SBY juga mencairkan 400 juta dolar Amerika untuk development policy law VIII dan di dalamnya ada persoalan PNPM dan dana KUR, macam-macam. Menerima pinjaman luar negeri, dengan pinjaman program, mereka ngatur lewat pembentukan draft UU, macam-macam, dibawa ke DPR, DPR juga terima lalu balik lagi ke eksekutif, jadi Undang-Undang.


   Jadi tudingan Mahfud, tudingan salah arah itu. Saya khawatir MK juga ikut dalam konstruksi itu, walaupun mereka tidak menerima apa-apa. Karena kebijakan MK misalnya membenarkan asuransi asing, yang menolak gugatan-gugatan yang sesungguhnya bertentangan dengan semangat dan nilai-nilai konstitusi.


Contohnya dalam UU apa MK bisa dikatakan terlibat dalam menjual negara?


  Contoh sederhana ketika kami menggugat UU No 22 Tahun 2001 tentang Kelistrikan yang dibatalkan oleh MK, tetapi dalam UU No 30 Th 2009 MK membenarkan tentang Kelistrikan (padahal esensi dari kedua UU tersebut sama, hanya diubah redaksi katanya saja, red).


   Contoh  lainnya, ketika kami menggugat UU Penanaman Modal yang sudah jelas-jelas menjajah Indonesia, MK menolaknya tuh. Begitu juga ketika kami menggugat UU tentang Piagam ASEAN yang sesungguhnya melepas Indonesia ke dalam mekanisme pasar bebas secara total untuk kepentingan ASEAN dan Amerika, sebenarnya untuk Amerika, MK menolaknya tuh.


   Jadi, walaupun MK kelihatan tidak menjual tetapi dengan  sikap pembenarannya terhadap UU yang menjual negara, akhirnya MK pun ikut menjual.


Pihak-pihak yang terlibat dalam jualan pasal dan UU ini sebenarnya menyadari atau tidak, bahwa sesungguhnya mereka telah menjual negara?


   Jadi klasifikasinya ada tiga. Pertama, ada yang tidak mengerti tapi demikian menjunjung free market mechanism atau pasar bebas yang menggerus nilai-nilai kemanusiaan itu. Kedua, memang menjadi pejuang penuh free market mechanism, istilah saya sebagai true believer free market mechanism atau pakai istilah Stiglitz, free market foundamentalism, fundamentalis-fundamentalis mekanisme pasar bebas. Mereka ini meyakini penuh atas kebenaran free market mechanism yang dalam periode 2008-2011 jelas-jelas kalah dalam peperangan perekenomian. Ketiga, yang tidak mengerti, tidak mau belajar, tidak mau membuka otaknya, yang tidak mengerti posisinya.


Nah, yang paling berbahaya itu yang mana dari ketiga kelompok itu?


    Saya membaginya ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, saya sebut sebagai symbolic torture, atau kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik ini rata-rata mereka menjadi fundamentalis, yang dalam istilah saya, mereka menjadi true believer.


    Mereka belajar di Amerika, mereka belajar di fakultas-fakultas, di perguruan tinggi-perguruan tinggi Indonesia, mereka tidak dapat pembelajaran alternatif lain. Mereka dididik meyakini yang namanya di luar free market mechanism adalah sebuah kegagalan, adalah sebuah kekonyolan. Lalu mereka menjadi fundamentalis, mereka menjadi pejuang habis-habisan free market mechanism dan mereka menyebut orang-orang yang mencoba menegakan ekonomi konstitusi seperti saya sebagai nationalism bad, sebagai  the looser, sebagai pecundang. Mereka sebagai pengkhianat, pengkhianat terhadap konstitusi.


   Kedua, saya sebut sebagai Stockholm syndrome. Nah, sindrom Stockholm itu orang-orang yang menikmati hidup dari hasil penjajahan.  Padahal yang diberikan kepada mereka, sebagai sebuah penghasilan kehidupan, sebagai kemewahan atau keagungan, itu sebenarnya sedikit sekali. Yang dirampok penjajah itu bergalon-galon, tetapi yang diberikan ke mereka cuma tetesan, yang tetesan itu mereka bangga-banggakan sebagai betapa baiknya penjajah kepada mereka.


    Ketiga? Misleading symplication. Ini aliran pragmatis, ini aliran mau serba gampang, serba instan yang tidak mau belajar, selalu ingin menyederhanakan masalah, tetapi sebenarnya menyesatkan. Misalnya, mereka membahas tentang kopi instan, roti instan, roti isi daging sapi instan. Tetapi mereka tidak pernah mau tahu bagaimana proses pembuatan kopinya, rotinya, daging sapinya. Mereka tidak mau tahu standar-standar yang dibangunnya yang penting mereka bisa menikmati.


   Lalu mereka bilang, “ini tidak masalah,”  Padahal di Barat sana itu, makanan yang mereka banggakan itu terkategori junk food atau makanan sampah. Mereka bilang, ini sebagai sebuah kenikmatan, ini sebagai sebuah ukuran kemodernan. Ukuran kemodernan lainnya yang mereka banggakan padahal penyesatan adalah banyak perempuan yang menunjukkan paha, perut dan dadanya sebagai indikator. Mereka bilang ini adalah seni. Padahal itu pembodohan!


    Lalu mereka juga membenarkan free market mechanism itu sebagai sebuah kedigdayaan dan ternyata benar gitu loh posisinya. Jadi mereka tidak pernah tahu  bahwa orang-orang Barat sendiri sudah memaki habis-habisan free market mechanism itu.


Jadi kelompok mana yang paling bahaya?


    Saya kira yang paling berbahaya yang pertama tadi, yang saya sebut sebagai kekerasan simbolik, karena rata-rata mereka adalah elite dan yang keduanya adalah mereka para aparat, termasuk para birokrat, yang berada pada posisi sindrom Stockholm. Terakhir, masyarakat kebanyakan sebagai orang-orang yang mengidap penyakit pragmatis, mereka menyederhanakan  masalah tetapi menyesatkan posisinya

Seret Petinggi Densus 88 ke Pengadilan

    Pembunuhan terhadap tujuh warga yang dituduh Densus 88 sebagai teroris di Makassar dan Bima pada Jumat (4/1) dan Sabtu (5/1) merupakan bukti bahwa Densus 88 sudah melakukan pelanggaran HAM berat, sehingga mereka sangat patut diseret ke penyelidikan projustitia  pelanggaran HAM berat, termasuk pimpinan Polri secara berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat untuk melakukan operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur hukum).
Extra judicial killing merupakan bentuk pelanggaran HAM berat yang melanggar UU 39 th 1999  khususnya pada penjelasan Pasal 104 junto UU 26 th 2000 tentang pengadilan HAM pasal 7 sub B dan Pasal 9 masing-masing dengan unsur-unsur pembunuhan, penghilangan orang, penyiksaan,teror dan perbuatan lain yang sangat memenuhi syarat sebagaimana mandat kedua UU tersebut. Ini sesuai juga dengan mandat Statuta Roma tahun 1998.
Operasi Densus 88 juga itu  sudah melanggar UU No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang anti penyiksaan dan perendahan martabat manusia dan penghukuman yang merendahkan martabat manusia. Semua ini sudah cukup menjadi bukti awal bahwa Densus 88 sudah diseret ke depan pengadilan.
Komnas HAM harus segera mengambil langkah untuk memulai penyelidikan pro justitia pelangaran HAM berat yang dilakukan Densus 88. Kalau mekanisme institusi mengalami jalan buntu karena intervensi kekuasaan maka umat Islam Indonesia harus memprakarsai untuk membawa kasus ini ke forum internasional yakniInternational Criminal Court yang bermarkas di Denhag, Belanda.
Di sana ada pengadilan internasional yang berwenang untuk melakukan pengadilan terhadap setiap pelanggaran HAM berat yang tidak dapat diselesaiakan oleh mekanisme internasional.
Kalau perlu umat Islam bersatu untuk memboikot pajak karena ternyata negara mentolelir, pajak yang dikumpulkan dari umat Islam sebagai penduduk mayoritas, untuk membunuhi dan memusnahkan perjuangan umat Islam.
Saya pun siap berhadapan dengan Densus 88. Namun kalau Densus 88 membawa senjata saya juga harus diberi senjata, biar seimbang, biar adil.
Kalau semua itu tidak dapat dilakukan, maka saya hanya berdoa kepada Allah SWT, agar segera menurunkan bala dan azab yang keras kepada Densus 88 yang telah menzalimi umat Islam, khususnya para mujahid yang tidak tahu apa-apa dan sungguh-sungguh merendahkan martabat dan kesucian umat Islam, bayangkan itu dilakukan di depan masjid, ini betul-betul penghinaan yang dilakukan Densus 88 kepada umat Islam.[]

Arsip Berita

 

Copyright Forum Wartawan Indonesia / Email: forwisulsel@yahoo.com